ZHsUuqapmVq6WEAviVpqkm2vfcrvCXMDInLmHdSj

HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN JUNUB, HAID DAN NIFAS

Daftar Isi [ Buka ]


Fikih wanita


Assalaamu'alaikum wa Rahmatulllahi wa Barakatuhu

Bahasan kali ini merupakan bahasan kelanjutan fiqh wanita sebelumnya. Kali ini, kita akan belajar hukum-hukum yang berkaitan dengan haid, nifas, dan junub.


A. Pengertian dan Pembagian Hadas

Hadas adalah keadaan tidak suci pada pada diri seorang muslim yang menyebabkan ia tidak boleh shalat, thawaf dan lain sebagainya. Ulama fikih membagi hadas menjadi dua bagian :

النَّوع الأوَّل: الحدَث الأصغرُ، وهو ما يجِبُ به الوضوءُ؛ كالبولِ، والغائطِ، وخروجِ الرِّيحِ
والنَّوع الثَّاني: الحدَث الأكبر، وهو ما يجِبُ به الغُسلُ؛ كمَن جامَعَ أو أنزَلَ
  1. Hadats ashghar (hadas kecil), yaitu perkara yang mewajibkan wudhu, seperti buang air kecil, buang air besar dan buang angin (kentut)
  2. Hadats akbar (hadas besar), yaitu perkara yang mewajibkan mandi, seperti jima' atau keluar sperma 

B. Larangan-larangan Bagi Wanita Haid dan Nifas

Bagi wanita yang sedang haid atau nifas, atau sudah berhenti darahnya namun belum mandi besar, maka dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Melakukan sholat, baik fardlu maupun sunah.
Wanita yang tidak mendirikan salat karena halangan haid atau nifas tidak diperintahkan untuk meng-qadha salat, kendati salat yang ditinggalkan merupakan salat wajib lima waktu. Bahkan jika ia meng-qadhanya maka tetap tidak sah

  1. Melakukan puasa baik fardlu atau sunah
  • Wanita yang tidak berpuasa karena halangan haid atau nifas, wajib meng-qadha puasanya
  • Jika haid atau nifas telah berhenti maka boleh melakukan puasa meskipun belum mandi besar, jika haid berhenti sebelum fajar shodiq (waktu masuknya shalat subuh) dan sudah niat puasa sebelum fajar shodiq. 
  • Jika darah berhenti di siang hari, maka sunnah untuk menjaga hal-hal yang membatalkan puasa
  1.  Membaca al-Qur’an.
Maksudnya melafalkannya dengan lisan yang sampai bisa didengar oleh dirinya sendiri. Sehingga apabila dibaca di dalam hati, atau dibaca dengan niat dzikir atau belajar-mengajar maka diperbolehkan.

  1. Menyentuh al-Qur’an, baik dengan tangan atau anggota lain, baik dengan penghalang atau tidak sekiranya masih dianggap menyentuh.
  2. Membawa al-Qur’an. Namun boleh membawanya dalam tas atau sejenisnya yang ada benda lain dengan niat tidak membawa al-Qur’an saja. Dan boleh membawa al-Qur’an yang ada tafsirnya, jika yakin jumlah tulisan tafsirnya lebih banyak dibanding jumlah tulisan al-Qur’an.
  3. Lewat di dalam masjid jika khawatir menetesnya darah. Dan jika tidak khawatir, maka hukumnya makruh.
  4. Berdiam / i’tikaf di dalam masjid.
  5. Thowaf fardlu atau sunah.
  6. Melakukan jima’ (hubungan intim) sebelum mandi besar. 
  • Menurut Imam Ghozali, jima’ di waktu haid atau setelah haid namun belum mandi akan dapat menyebabkan sakit lepra pada pelaku atau anaknya. Namun bila benar-benar khawatir melakukan zina (bukan karena dorongan hasrat yang kuat), maka boleh jima’ meski darah belum mampet. Namun bagi pelaku jima` disaat istri sedang haid dan darah keluar dengan deras maka sunnah bersodaqah satu dinar (3,88 Gr emas ) dan jika jima' saat darah menjelang berhenti, sodaqahnya setengah dinar. (Fathul qodir  : 19) 
  • Dalam kitab Fiqh Islami Juz I hal 76, disebutkan satu dinar = 4,25 Gr

  1. Melakukan Istimta’ atau bercumbu pada anggota badan antara pusar dan lutut, karena akan membangkitkan getaran syahwat untuk melakukan jima’.
  2. Menjatuhkan talaq/cerai pada istri. Dan bila setelah darah berhenti boleh menjatuhkan talaq meskipun belum mandi besar.

C.  Larangan Bagi Orang Junub

Bagi orang yang sedang dalam keadaan junub, baik disebabkan keluar sperma, sesudah jima' (hubungan suami-istri) atau setelah melahirkan, sebelum mandi haram melakukan lima hal sebagai berikut;
  1. sholat fardlu atau sunah.
  2. membaca al-Qur’an kecuali di dalam hati atau diniati dzikir.
  3. menyentuh al-Qur’an baik dengan tangan atau dengan anggota lain serta membawanya tanpa disertai barang atau benda lain.
  4. thawaf fardlu atau sunah.
  5. berdiam (i'tikaf) di dalam masjid.

D.  Sholat Yang Harus di-Qadha’ Sebab Datang dan Berhentinya Haid/Nifas.

Dalam istilah fiqh, haid dan nifas termasuk mawani’ as-sholat (sesuatu yang mencegah dilakukannya sholat). Datang dan hilangnya mawani’ as-sholat dapat mengakibatkan hutang sholat yang harus diqodlo’. Adapun ketentuannya sebagai berikut :
  1. Jika mawani’ (haid/nifas) datang setelah masuknya waktu yang cukup digunakan untuk melakukan sholat (yang dimaksud disini adalah SHOLAT YANG CEPAT, yakni hanya melaksanakan rukun-nya sholat saja atau sholat Qoshor bagi musafir), maka setelah suci dia wajib meng-qadha’ sholat yang belum sempat dikerjakan waktu datangnya mawani’. Dan tidak wajib meng-qadha’ sholat yang sudah di lakukan sebelum datangnya mawani’ serta sholat yang bisa dijama’ dengan sholat sewaktu datangnya mawani’.

Guna memudahkan pemahaman, perhatikan contoh kasus di bawah ini 

Contoh 1 : Darah haid keluar jam 13.00 Wib. dan belum melakukan sholat dhuhur, maka setelah darah haid berhenti wajib mengqodlo’ sholat zhuhur.

Contoh 2 : darah haid keluar jam 16.00 Wib. dan belum melakukan sholat ashar, maka setelah suci wajib mengqodlo’ sholat ashar dan tidak wajib mengqodlo’ sholat zhuhur.

  1. Jika mawani’ hilang setelah masuknya waktu sampai batas minimal masih muat digunakan untuk takbiratul ihrom (mengucapkan Allohu Akbar) maka dia harus melakukan sholatul wakti, yakni sholat yang wajib dikerjakan ketika waktu hilangnya mawani’. Demikian juga sholat yang bisa dijama’ dengan sholatul wakti. Melakukan sholatul wakti tersebut dengan niat adaa’ atau qadha’.

Perhatikan contoh dibawah ini 

Contoh 1 : Darah haid berhenti pada jam 16.00 Wib. maka dia wajib melakukan sholat ashar dengan adaa’ serta sholat zhuhur dengan qadha’.

Contoh 2 : Darah haid berhenti pada waktu ashar yang hanya cukup untuk mengucapkan Allahu Akbar, maka dia wajib melakukan sholat ashar dan zhuhur dengan niat qadha’.

Contoh niat sholat adaa' dan qadha :

اُصَلِّي فَرْضَ الظُّهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً لِلّٰهِ تَعَالٰى

اُصَلِّي فَرْضَ الظُّهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قَضَاءً لِلّٰهِ تَعَالٰى

E.  Puasa Yang Diqadho’ Sebab Haid Dan Nifas

Bila haid dan nifas terjadi pada bulan ramadlan maka semua puasa yang wajib ditinggalkan harus diqadla’, termasuk puasa yang wajib dilakukan saat darah berhenti, dan masih dihukumi haid atau nifas. Hal ini terjadi pada wanita yang haid atau nifasnya terputus-putus.


Contoh : Awal Ramadhan keluar darah haid 2 hari, kemudian berhenti selama tiga hari dan saat itu ia melakukan puasa, kemudian darah ternyata keluar lagi selama 5 hari. Setelah itu suci sampai akhir Ramadhan, maka puasa yang harus diqadha’ adalah 10 hari dari awal Ramadhan, dikarenakan semua dihukumi haid termasuk 3 hari yang tidak keluar darah, sehingga puasa yang dilakukan dihukumi tidak sah.

Demikianlah penjelasan tentang hal-hal yang dilarang bagi seseorang yang sedang dalam keadaan junub, haid, dan nifas. 

Mudah-mudahan bermanfaat. 


Wallaahu A'lam bish Showaab

al-Hikmah Tegal



ARTIKEL TERKAIT

Posting Komentar