ZHsUuqapmVq6WEAviVpqkm2vfcrvCXMDInLmHdSj

NIAT PUASA RAMADHAN

Daftar Isi [ Buka ]
niat puasa ramadhan

A. Syarat dan Rukun Puasa

Puasa Ramadhan merupakan salah satu ibadah yang diwajibkan atas umat Islam yang telah memenuhi syarat wajib, yakni : Islam (muslim/ muslimah); baligh; sehat/mampu/kuat berpuasa, berakal, dan mengetahui awal bulan Ramadhan. 

Sama seperti ibadah pada umumnya, bahwa setiap ibadah pastilah mempunyai rukun yang menjadi batasan sah atau tidak sah-nya ibadah tersebut. Begitu juga puasa, ibadah ini juga mempunyai rukun yang menjadi tolak ukur apakah ibadah puasa sah atau tidak. Dan rukun puasa itu hanya ada 2, yakni;
  1. Niat, dan
  2. Imsak; yakni menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa
Kalau berbicara niat, biasanya yang langsung terpantri dalam otak kita kebanyakan ketika mendengar kata niat puasa adalah redaksi yang masyhur sebagai berikut :

نـَوَيْتُ صَوْمَ غـَدٍ عَـنْ ا َدَاءِ فـَرْضِ شـَهْرِ رَمـَضَانِ هـَذِهِ السَّـنـَةِ لِلـّهِ تـَعَالىَ

Nawaitu shauma ghadin ‘an adaa’i fardhi syahri Ramadhani hadzihissanati lillaahi ta’ala

Kemudian muncul pertanyaan; benarkah niat dengan redaksi itu yang harus diucapkan ? Untuk menjawabnya, mari kita kembalikan pada ahlinya, yakni bagaimana pendapat para ulama dalam hal ini.


B. Syarat Niat

Disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (28/21), syarat niat yang disepakati para ulama madzhab itu ada 4 :
  1. Jazm (Yakin)
  2. Ta’yiin (Ditentukan)
  3. Tabyiit (Pengukuhan)
  4. Tajdid (Diperbaharui)

        B.1. Jazm (Yakin)

Seorang muslim yang berniat haruslah yakin dengan niatnya, tidak ragu/gamang. Seperti mengatakan: “kalau besok tidak jadi safar/pergi jauh, saya puasa. Kalau jadi, ya saya tidak puasa!”. Harus yakinkan diri, puasa atau tidak?

Juga bukan di hari syak (hari setelah tanggal 29 Sya’ban), apakah besok sudah masuk Ramadhan atau tidak. misalnya mengatakan: “kalau besok benar tanggal satu saya puasa, kalau tidak ya tidak puasa!”. Untuk itu harus dipastikan sebelumnya apakah besok benar tanggal 1 atau tidak. 

Maka untuk memastikan itulah butuh adanya pihak yang mampu dan kompeten dalam menentukan awal Ramadhan. Itu juga berarti tidak boleh seseorang berpuasa tanpa mengikuti orang lain atau pihak otoritatif yang menentukan awal Ramadhan di mana mereka tinggal.

        B. 2. Ta’yiin (Ditentukan)

Ta’yin dalam bahasa Indonesia bermakna menentukan. Maksudnya adalah niat puasa itu haruslah memberikan spesifikasi / kejelasan atas ibadah yang ingin dikerjakan, dalam hal ini puasa.

Jadi, dalam niat harus ditentukan puasanya itu puasa apa? apakah ini puasa wajib atau bukan? Lalu kalau wajib, ini wajib apa? apakah Ramadhan atau nadzar, atau qadha ? Harus ditentukan dengan jelas.

Karena syarat kedua inilah kemudian muncul redaksi niat puasa Ramadhan dari ulama, sebagaimana di atas, untuk memudahkan kaum muslim/h dalam berniat. Dalam bahasa Indonesianya : "Saya puasa esok hari, wajib bulan Ramadhan tahun ini”. Tidak cukup hanya dengan niat secara mutlak tanpa ditentukan jenisnya.

Kenapa harus ditentukan? Karena puasa adalah ibadah yang berkaitan dengan waktu (hari), maka harus ditentukan waktunya, agar tidak tercampur dengan puasa lain. Layaknya shalat 5 waktu yang harus ditentukan jenis shalatnya ketika niat agar tidak bias dengan shalat yang lain. Ini adalah pendapat al-Malikiyah, al-Syafi’iyyah dan al-Hanabilah sebagaimana di uraikan dalam kitab al-Majmu’ 2/50 dan al-Mughni 3/109.

Namun bagi kalangan al-Hanafiyah, tidak perlu adanya penentuan puasa dalam niat, cukup dengan niat puasa mutlak saja tanpa ditentukan jenisnya. Karena yang namanya puasa Ramadhan itu tidak mungkin dilakukan di luar Ramadhan, maka ketika ada yang berniat puasa, pastilah itu untuk Ramadhan. 

Terlebih lagi bahwa puasa itu ibadah yang mudhoyyaq (waktunya sempit), satu hari itu hanya cukup untuk satu puasa. Jadi mana mungkin ia berniat selain untuk Ramadhan? (Radd al-Muhtarr2/378).

        B. 3. Tabyiit (Pengukuhan)

Pengukuhan niat yang di maksud disini adalah bahwa niat puasa Ramadhan harus dikukuhkan di malam sebelum hari yang ingin dilakukan puasa itu datang, yaitu setelah terbenam matahari sampai menjelang terbit fajar hari itu. Ini didasarkan kepada hadits Nabi saw :

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Siapa yang tidak berniat puasa di malam hari sampai terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya” (HR. Ibnu Majah, an-Nasa’i dan Ahmad) 

  B. 4. Tajdid al-Niyyah / Pembaharuan Niat

Yang terakhir adalah syarat tajdiid al-Niyyah, yakni memperbaharui niat di setiap malam Ramadhan. Ini adalah pendapat Jumhur ulama dari 4 madzhab fiqih, selain madzhab Imam Malik. Jumhur ulama sepakat bahwa yang namanya niat Ramadhan itu harus di-update disetiap malam Ramadhan. Tidak cukup hanya niat di awal bulan saja, mesti setiap malam. Mereka mengatakan bahwa puasa di hari-hari Ramadhan adalah ibadah yang independent di setia harinya, tidak punya keterkaitan antara hari-hari tersebut. Karena setiap harinya itu berbeda dengan hari selanjutnya atau sebelumnya, maka wajib di setiap hari ada niat yang dikhususkan untuk hari itu.

Bukti bahwa masing-masing hari Ramadhan itu tidak punya keterkaitan, bahwa jika pada salah satu hari puasanya batal, maka itu tidak membatalkan puasanya di hari sebelumnya. Begitu juga sebaliknya, sah-nya puasa di hari ini tidak bisa membuat puasa esok hari juga menjadi sah. Jadi memang mereka berdiri sendiri-sendiri. 

Tidak seperti shalat yang semua gerakannya adalah satu kesatuan, yang jika salah satunya batal, maka batal shalat tersebut. Terlebih lagi dalam satu bulan itu tidak semua diwajibkan berpuasa, tapi puasa hanya di bagian siangnya saja, malamnya tidak. berarti memang hari-hari wajib puasa Ramadhan itu terputus, bukanlah suatu kesatuan. (al-Mabsuth li-Sarakhsi : 3/60, al-Majmu’ : 6/302, Kassyaf al-Qina’ : 2/315)

Berbeda dengan pendapat Jumhur ulama sebagaimana di atas, Madzhab Imam Malik berpendapat berbeda dengan apa yang dikatakan oleh 3 madzhab lainnya. Madzhab Imam Malik menganggap bahwa cukup dengan satu niat di awal bulan, puasanya sepanjang bulan Ramadhan itu sah.

Imam Ahmad al-Dardiir, sebagai pengikut Madzhab Imam Maliki mengatakan dalam kitabnya al-Syarh al-Kabir, bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang punya satu kesatuan, karena kewajiban puasa di dalamnya itu berurutan satu sama lain tidak terpisah, yang mana seseorang tidak bisa memisahkan kewajiban ibadah puasa hari yang satu ke hari yang lain di bulan lain. (al-Syarh al-Kabir1/521)


C. Haruskah Dengan Nawaitu Shauma

Ulama yang menciptakan redaksi tersebut ialah Imam al-Rafi’i al-Quzwaini (w. 623 H) dari kalangan al-Syafi’iyyah. Beliau menuliskan redaksi niat tersebut dalam kitabnya Fathul-‘Aziz bi Syarhi alWajiz atau biasa yang disebut dengan istilah al-Syarhu al-Kabir li al-Rafi’iy (6/293) sebagai implementasi atas syarat-syarat niat tersebut guna memudahkan bagi para muslim ketika ingin berniat puasa Ramadhan.

Yang kemudian, niat tersebut kembali ditulis ulang oleh Imam al-Nawawi dalam kitabnya Al-Raudhah al-Thalibin yang akhirnya menjadi familiar dan banyak diamalkan kebanyakan muslim. 


Apakah boleh berbeda?

Tentu saja boleh. Setelah memperhatikan uraian di atas, maka sudah jelas, bahwa niat puasa Ramadhan boleh kita berniat dengan bahasa Indonesia saja, atau dengan bahasa daerah masing-masing. Yang penting adalah syarat-syarat niat yang 4 itu harus terpenuhi, sebagaimana uraian di atas.

Mayshurnya redaksi niat dengan bahasa Arab yang disebutkan di atas bukanlah menjadi syarat bahwa memang harus begitu jika ingin berniat. Sebab masyhurnya niat tersebut bisa jadi karena memang gurunya guru kita dan gurunya guru mereka itu ya orang-orang Arab sana. Mereka menuliskan materi materi kajian yang disampaikan kepada muridnya dengan bahasa yang mereka pakai. Jadi wajar kemudian jika memang yang banyak dipakai itu adalah niat dengan redaksi bahasa Arab.

Mungkin jika guru yang pertama mengajarkan itu orang Jawa, redaksi niat yang masyhur dan memasyarakat tentunya ya Jawa-nan. Dan ternyata dalam perkembangannya, di desa-desa pelosok jawa, praktek niat puasa Ramadhan acap kali setelah berniat dengan redaksi bahasa Arab, kemudian dilanjut dengan artinya yang jawanan (niat ingsun arep puasa ing dina mbesiki esuk saking nekani wulan Ramadhan ing ikilah tahun karena miturut perintahe Allah Ta'ala)


Demikianlah uraian seputar Niat Ramadhan yang mudah-mudahan dapat mencerahkan dan tentunya bermanfaat untuk sobat HT Blog


Created by : Al-Hikmah Tegal


ARTIKEL TERKAIT

Posting Komentar