ZHsUuqapmVq6WEAviVpqkm2vfcrvCXMDInLmHdSj

MENINGGALKAN PERKARA MUBAH

Daftar Isi [ Buka ]
Perkara mubah

Setelah sebelumnya murid atau salik (penempuh jalan spiritual) melalui tahapan/ tangga spiritual pertama, yakni Taubat, maka tahap selanjutnya adalah Menjauhi Perkara Mubah.


Sudah seyogyanya bagi seorang salik untuk meninggalkan perkara-perkara mubah (yang boleh dilakukan). Karena hal ini juga menimbulkan kecintaan duniawi dalam hatinya. Untuk itu, Ali al-Murshifi menyatakan bahwa seorang murid/ salik tidak akan bisa mencapai maqam (kedudukan) tinggi, hingga ia mampu meninggalkan perkara mubah untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan sunnah.

Perbuatan mubah, menurut Ali Al-Khowash, pada dasarnya sebagai penghibur bagi para hamba yang mengalami kebosanan dalam melaksanakan perintah Allah. Sedangkan bagi para malaikat tidak disyari’atkan bagi mereka adanya perbuatan mubah, yang ada adalah fardhu. Karena malaikat diciptakan tanpa memiliki rasa bosan, sehingga mereka terus-menerus bertasbih dan memuji Allah.

Dan ketika salik melakukan kemubahan hanya untuk melaksanakan apa yang di-rukhsoh-kan (keringatan hukum yang diperbolehkan) Allah baginya, niscaya salik tidak akan mendapati apa yang dicari dalam perjalanan spiritualnya. Salik seharusnya mengurangi perbuatan mubah dan menggantinya dengan perbuatan sunnah. Atau menjadikan perkara yang mubah sebagai perkara yang sunnah, yaitu dengan melaksanakan segala sesuatu yang mubah bertujuan semata untuk beribadah kepada Allah

Ali Al-Khowash pernah menyatakan, seorang murid tidak akan mencapai maqom siddiq kecuali dengan menambah pengagungannya dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan; melaksanakan sunnah seolah wajib, meninggalkan makruh sebagaimana haram dan meninggalkan perkara haram sebagaimana kekufuran. Setelah itu, meniatkan semua perbuatan mubahnya untuk kebaikan, sehingga mendapat pahala. Misalnya, tidur siang dengan niat agar kuat sholat malam, makan makanan yang enak untuk mengobati keinginan nafsu ketika sulit diajak ibadah, menggunakan pakaian bagus demi memperlihatkan nikmat Allah dan lain-lain. Jadi, bukan untuk bersombong-sombongan. 

Sejalan dengan itu, Abu Hasan As-Syadzili pernah berkata kepada para muridnya; "Makan dan minumlah kalian dari makanan dan minuman yang enak. Tidurlah diatas kasur yang empuk. Dan berpakaianlah dengan pakaian yang bagus. Bila saat memakai, kalian mengucapkan "Al-Hamdulillah", maka seakan ikut bersyukur pula seluruh anggota badan”. Ini berbeda bila kalian makan dari makanan roti kasar, minum air laut yang asin, tidur pada tempat yang kotor dan berpakaian dengan pakaian murahan. Saat mengucapkan "Al-Hamdulillah", hati masih ada rasa 'protes' dan mengerutu. Padahal, kalau ia mengerti hakekatnya, memprotes dan mengerutu adalah lebih besar dosanya daripada bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Sebab, bersenang-senang berarti masih dalam batas melakukan sesuatu yang diperbolehkan, sedang menggerutu dan benci berarti melakukan sesuatu yang dilarang

Itulah yang seyogyanya seorang murid/ salik lakukan pada tahap/ tangga spiritual kedua. Dengan melakukan perkara mubah ternyata dapat menjadikan salik terperosok untuk menuruti hawa nafsunya, dan tentunya hal ini akan menjadi penghalang baginya untuk menuju Allah. Karena menuruti hawa nafsu merupakan bagian yang menyebabkan terhijabnya salik dari Allah ‘azza wa jalla

Dalam kitab Zabur disebutkan: “Wahai Dawud jagalah dan peringatkan umatmu dari makan untuk menuruti hawa nafsu. Karena hati orang-orang yang menuruti hawa nafsu terhalang dari-Ku



Demikianlah tahapan yang perlu dijalani salik dalam menuju Tuhannya. Untuk tahapan selanjutnya, Menghindari Riya', klik di SINI

Wallaahu A'lam bish Sowaab


al-Hikmah Tegal


--------------------------
Daftar Pustaka : 
Al-Minah al-Saniyyah 'ala al-Washiyyah al-Matbuliyyah, Syaikh Abdul Wahhab Al- Sya'rani

ARTIKEL TERKAIT

Posting Komentar