Setelah sebelumnya seorang murid atau salik (penempuh jalan spiritual) melalui tahapan pertama, yaitu taubat, maka tahap selanjutnya adalah menjauhi perkara mubah.
Makna Perkara Mubah
Perkara mubah adalah segala sesuatu yang hukumnya boleh dilakukan, tidak berdosa bila dikerjakan maupun ditinggalkan. Namun, menurut para ulama tasawuf, perkara mubah dapat menimbulkan kecintaan duniawi dalam hati salik. Karena itu, seorang salik dianjurkan untuk mengurangi hal-hal mubah dan menggantinya dengan amal sunnah.
Ali al-Murshifi menyatakan bahwa seorang murid tidak akan mencapai maqam (kedudukan) tinggi sebelum mampu meninggalkan perkara mubah dan menggantinya dengan perbuatan sunnah.
Pandangan Ulama tentang Perkara Mubah
Menurut Ali Al-Khawash, perbuatan mubah pada dasarnya berfungsi sebagai penghibur bagi hamba ketika merasa bosan dalam menjalankan perintah Allah. Namun bagi para malaikat, tidak ada perkara mubah, karena mereka diciptakan tanpa rasa bosan sehingga selalu bertasbih memuji Allah.
Salik yang hanya menjalankan kemubahan sekadar karena rukhshah (keringanan) tidak akan mendapatkan apa yang dicari dalam perjalanan spiritualnya. Oleh sebab itu, salik seharusnya:
- Mengurangi perkara mubah.
- Menjadikan perbuatan mubah sebagai sunnah dengan meniatkannya karena Allah.
Contoh: tidur siang agar kuat bangun malam, makan enak agar nafsu terkendali, atau memakai pakaian bagus untuk menampakkan nikmat Allah, bukan untuk kesombongan.
Sikap Para Mursyid
Ali Al-Khawash menegaskan bahwa seorang murid tidak akan mencapai maqam siddiq kecuali dengan:
- Melaksanakan sunnah seakan-akan wajib.
- Meninggalkan makruh sebagaimana meninggalkan haram.
- Meninggalkan haram sebagaimana menjauhi kekufuran.
- Menjadikan perkara mubah bernilai pahala dengan niat yang benar.
Abu Hasan As-Syadzili bahkan menekankan pentingnya bersyukur atas nikmat. Beliau berkata:
“Makanlah makanan enak, minumlah minuman lezat, tidurlah di atas kasur yang empuk, dan pakailah pakaian bagus. Jika kalian mengucapkan Alhamdulillah, maka seluruh anggota badan turut bersyukur.”
Namun bila seseorang makan makanan kasar, tidur di tempat kotor, dan memakai pakaian murahan lalu masih menggerutu, hal itu justru lebih berdosa daripada menikmati nikmat yang halal.
Bahaya Menuruti Perkara Mubah
Perkara mubah, bila dilakukan tanpa niat ibadah, dapat menyeret salik pada hawa nafsu. Hal ini menjadi penghalang menuju Allah. Dalam kitab Zabur disebutkan:
“Wahai Dawud, jagalah umatmu dari makan untuk menuruti hawa nafsu. Sesungguhnya hati orang-orang yang menuruti hawa nafsu terhalang dari-Ku.”
Kesimpulan
Tahap kedua dalam perjalanan spiritual seorang salik adalah meninggalkan perkara mubah. Dengan menguranginya atau mengubah niat menjadi ibadah, seorang salik akan terhindar dari kecintaan duniawi yang bisa menghalangi jalan menuju Allah.
➡️ Tahapan selanjutnya setelah Menajuhi Perkara Mubah adalah Menghindari Riya'. Simak penjelasan selengkapnya dalam artikel: Amal Riya dalam Islam: Pengertian, Bahaya, dan Cara Menghindarinya
Daftar Pustaka
- Al-Minah al-Saniyyah ‘ala al-Washiyyah al-Matbuliyyah, Syaikh Abdul Wahhab Al-Sya’rani
FAQ tentang Perkara Mubah
Perkara mubah adalah segala sesuatu yang boleh dilakukan, tidak berdosa bila dikerjakan maupun ditinggalkan. Namun dalam tasawuf, terlalu banyak melakukan perkara mubah bisa menumbuhkan kecintaan duniawi.
Karena perkara mubah berpotensi menjerumuskan salik pada hawa nafsu dan menghalangi perjalanan menuju Allah. Ulama menganjurkan menguranginya atau meniatkannya sebagai ibadah agar bernilai pahala.
Dengan meniatkan perbuatan mubah untuk kebaikan, misalnya tidur agar kuat beribadah malam, makan enak untuk menjaga kesehatan, atau memakai pakaian bagus untuk menampakkan nikmat Allah.





